Mengapa Saya Masih Cinta Bola

Malam Saat Langit Berwarna Hijau-Kuning
Saya berusia sembilan tahun, duduk di sofa retak di Brooklyn, bau empanado tercium di udara—ibu saya bersenandung samba saat TV menayangkan laga akhir Brasil melawan Paris. Skor 0-1. Tak ada sorak. Bahkan ayah saya, yang pernah sebut bola “agama”, pun diam.
Kekalahan itu tak mematahkan kami. Ia merewiring kami.
Apa yang Diajarkan Kekalahan yang Kemenangan Tak Bisa
Dulu saya kira menang adalah segalanya—sampai saya lihat hantu Pelé menari di langit Rio dalam mimpi AI: jersey-jersey melayang seperti api di jalanan favela, anak-anak tertawa perlahan seolah waktu berhenti.
Ini bukan pertandingan. Ini ritual.
Di arsip ESPN Latin America, data tunjukkan sesuatu aneh: para penggemar perempuan usia 18–24 berbagi DM berkata, “Aku menangis menyaksikan ini juga.” Bukan karena kalah—tapi karena kami tetap hadir.
Fandom Bukan Soal Rasio Menang-Kalah—Tapi Soal Milik
Algoritma tak peduli pada gol per menit. Ia peduli pada kenangan per detak jantung. Ibu saya ajarkan kata bahasa Portugis setelah hujan: “A paixão vence o tempo.” (Gairah mengalahkan waktu.) Jadi sekarang? Saat Piala Dunia tiba… Saya kenakan jersi warisan itu—bukan untuk menang, tapi untuk ingat siapa kita dulu sebelum peluit terakhir. Detik apa yang membuatmu jatuh cinta pada bola setelah kekalahan?
LunaEcho23
Komentar populer (1)

Perdiu o jogo? Não. Perdiu o coração. Mas quando o Pelé dançou na telinha com a camisa da seleção e o placar virou samba… eu entendi: não é sobre vencer. É sobre chorar no silêncio enquanto o relógio para deixa de marcar um gol que nem existe.
E agora? Quando vier a Copa… eu puxo a camisa velha — não pra ganhar. Pra lembrar quem eu era antes do apito final.
E você? Também chorou? Comenta aqui 👇

